Salah satu agenda menarik dalam perhelatan Festival Danau Toba
(FDT) 2013 di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, adalah Lake Toba's
World Drum Festival. Festival ini digelar di Bukit Beta, Desa Tuktuk
Siadong, Kecamatan Ambarita, Kabupaten Samosir, yang dikoordinasi
Rizaldi Siagian.
Para peserta kegiatan ini bukan cuma dari dalam negeri, tetapi juga dari
luar negeri. Peserta dalam negeri di antaranya Pargonsi atau para
pemusik gendang bermelodi yang ada di kawasan Danau Toba; Gendang Belek
dari Lombok; Kuntulan dari Banyuwangi; Dol dari Bengkulu, Gandang Tasa
dari Sumatera Barat; Balawan dari Bali ; dan Made Wiyanta dari Bali.
Peserta dari luar negeri di antaranya Saingwaing dari Myanmar; Badema
dari Africa; Taiko dari Jepang; Michael dari Dalas Amerika; Jamal and
Bridge Ensemble; dan Poolvalur Sriji.
Rizaldi Siagian di sela kegiatan menyebutkan, etnomusikologi dalam
mempelajari ekspresi kebudayaan musikal suatu tradisi adalah teknik
memainkan dan konstruksi instrumen musik dalam fungsi menyajikan atau
menghasilkan produk musikal.
Kata dia, dalam tradisi memainkan gendang, umumnya alat musik ini
berfungsi sebagai pengiring melodi atau lagu yang dimainkan oleh alat
musik lain atau vokal melalui berbagai bentuk dan pola ritmis yang
diciptakan. Namun, ada pula gendang yang fungsinya adalah memainkan
melodi (membawa lagu) di dalam suatu komposisi musik. Gendang seperti
ini disebut dengan drum chime (gendang pembawa melodi).
"Menurut catatan para ahli, sejauh ini tradisi gendang jenis ini hanya
terdapat di tiga tempat, satu di Uganda (Afrika Timur) dengan nama
entenga, sedangkan dua lagi berada di Asia
Tenggara, yaitu di Myanmar dengan nama hsaing waing, dan di Indonesia,
persisnya di tengah-tengah masyarakat Batak yang hidup di tepian Danau
Toba," jelas Rizaldi.
Yang menarik, lanjut Rizaldi, di kawasan Danau Toba variannya banyak dan masing-masing dipelihara oleh lima sub-etnik Batak (Toba, Simalungun, Pakpak/Dairi, Karo, dan Mandailing).
Drum chime yang terdapat di Toba disebut taganing; di Simalungun disebut
gondrang sipitu-pitu; di Pakpak/Dairi disebut genderang merkata Si
siba; di Karo disebut gendang indung dan gendang anak; dan di Mandailing
disebut gordang sambilan dan gordang lima.
Dia membeberkan, dalam sejarah tradisi, drum chime di Afrika Timur pernah mengalami kepunahan, dan menurut The New Grove Dictionary
Music and Musician, baru direvitalisasi pada tahun 1993 yang lalu. Di
tanah Batak, terutama di paruh akhir abad dua puluh, keberadaan taganing
pernah dianggap sebagai "tradisi haram" sehingga tidak diperkenan untuk
ditampilkan di gereja; sementara itu tradisi gordang sambilan di
Mandailing sempat menghilang dari kegiatan masyarakat karena dianggap
"haram" juga.
Tradisi gordang lima, oleh karena fungsinya untuk upacara-upacara
terkait kepercayaan asli dan status pemimpin spiritualnya (yang sering
dituduh dukun), saat ini sudah tidak digunakan lagi oleh masyarakat
Mandailing.
Atas dasar keunikan dan pentingnya tradisi ini, kata Rizaldi, dalam
konteks kehidupan kekinian dan fenomena globalisasi, maka gagasan untuk
menyelenggarakan Lake Toba's World Drum Festival menjadi masuk akal dan sangat layak dilakukan di kawasan Danau Toba.
Dengan cara ini diharapkan program pengembangan pariwisata budaya di
kawasan Danau Toba ini bisa sekaligus menjadi sumbangan yang penting
bagi pelestarian pusaka tradisi gendang dunia yang memainkan melodi ini.
"Kita berharap di masa depan kawasan Danau Toba bisa menjadi 'rumah'
bagi tradisi gendang dunia, sekaligus menjadi tempat para maestro
berbagi pengalaman kebudayaan musikal yang sangat penting dalam konteks
globalisasi sekarang ini," harap Rizaldi.
foto : google.com , HKBP Sudirman Jakarta
kompas.com